Minggu, 06 Mei 2012

makalah jabariyah qodariyah


PENDAHULUAN


1.      LATAR BELAKANG
Berbicara mengenai masalah aliran pemikiran dalam Islam berarti kita juga berbicara tentang ilmu kalam. Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan yang mendasar dan tidak mudah digoyahkan. Munculnya perbedaan yang pertama muncul dalam Islam bukan masalah teologi melainkan di bidang politik. Akan tetapi perselisihan politik ini, sering dengan perjalanan waktu, meningkat menjadi persoalan teologi.

Perbedaan teologis di kalangan umat Islam sejak awal memang dapat mengemukakan dalam bentuk praktis maupun teoritis. Secara teoritis, perbedaan itu demikian tampak melalui perdebatan aliran-aliran kalam yang muncul tentang berbagai persoalan. Tetapi perlu diingat bahwa perbedaan yang ada umumnya masih sebatas pada aspek filosofis di luar persoalan keesaan Allah, keimanan kepada para rasul, para malaikat, hari akhir dan berbagai ajaran nabi yang tidak mungkin lagi ada peluang untuk memperdebatkannya. Misalkan tentang kekuasaan Allah dan kehendak manusia. Kehidupan wahyu dan akal, keadilan Tuhan. Perbedaan itu kemudian memunculkan berbagai macam aliran di antaranya, yaitu: Mu’tazilah, Syi’ah, Khawarij, Jabariyah, dan Qadariyah serta aliran-aliran lainnya. Maka dari itu dalam makalah ini akan membaha materi tentang Jabariyah dan Qodariyah.

2.      RUMUSAN MASALAH
  1. Pengertian dan asal-usul aliran Jabariyah dan Qodariyah
  2. Doktrin-doktrin Jabariyah dan Qodariyah
  3. Pendapat-pendapat Jabariyah dan Qodariyah

3.      TUJUAN PEMBAHASAN
  1. Mengetahui tentang pengertian dan asal-usul Jabariyah dan Qodariyah
  2. Mengetahui tentang apa saja doktrin-doktrin Jabariyah dan Qodariyah
  3. Menetahui pendapat-pendapat Jabariyah dan Qodariyah


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Asal-usul  aliran Jabariyah dan Qodariyah
Kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Dalam bahasa Inggris, jabariyah disebut fatalisme, yaitu paham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shufwan dari Khurasan. Dalam perkembangan selanjutnya faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d bin Dirrar. Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli sejarah pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab. Di antara ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Pendapat lain mengatakan bahwa paham ini diduga telah muncul sejak sebelum agama Islam dating ke masyarakat Arab. Kehidupan bangsa Arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara telah memberikan pengaruh besar dalam cara hidup mereka. Di tengah bumi yang disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara yang panas ternyata tidak dapat memberikan kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman, tapi yang tumbuh hanya rumput yang kering dan beberapa pohon kuat untuk menghadapi panasnya musim serta keringnya udara.
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang awal lahirnya aliran ini, dalam al-Qur’an sendiri banyak terdapat ayat-ayat yang menunjukkan tentang latar belakang lahirnya paham Jabariyah di antaranya :               
فلم تقتلو هم ولكن الله قتلهم  وما رميت اذ رميت ولكن الله ومى ولىبلى الموء منىن منه بلاء حسنا ان الله سمىء الىم
Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Sedangkan Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminology, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan.aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu dan meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.’
2.      Doktrin-doktrin Jabariyah  dan  Qodariyah
1.1.   Doktrin Jabariyah
Menurut Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokan menjadi dua bagian, kelompok ekstrim dan moderat. Di antara totoh-tokoh Jabariyah ekstrim ialah sebagai berikut:
Jahm bin Shufwan
Pendapat Jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut:
  1. Manusia tidak mampu untuk brbuaat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan. Pendapat Jahm tentang keterpaksaan ini lebih terkenal dibanding dengan pendapatnya tentang surga dan neraka, konsep iman, kalam Tuhan, meniadakan sifat Tuhan(nafyu as-sifat), dan melihat Tuhan di akhirat.
  2. Surga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain Tuhan.
  3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini, pendapatnya sama dengan konsep iman yang diajukan kaum Murji’ah.
  4. Kalam Tuhan adalah makhluq. Allah maha suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat. Begitupula Tuhan tidak dapat dilihat dengan indera mata di akhirat kelak.
Dengan demikian beberapa hal, pendapat Jahm hampir sama dengan Murji’ah, Mu’tazilah, dan As-Ariah. Itulah sebabnya para pengkritik dan sejarawan menyebutnya dengan Al-Mu’tazili, Al-Murji’i dan Al-Asy’ari.
Ja’d bin dirham
Doktrin pokok Ja’d secara umum sama dengan pikiran Jahm. Al-Ghuraby Menjelaskannya sebagai berikut :
  1. Al-Quran itu adalah makhluk. Oleh karena itu, dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatkan kepada Allah.
  2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan makhluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
  3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Yang termasuk tokoh Jabariyah Moderat adalah sebagai berikut:
An-Najjar
Di antara pendapat-pendapatnya adalah:
  1. Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang disebut kasab dalam teori Al-Asy’ari. Dengan demikian, manusia dalam pandangan An-Najar tidak lagi seperti wayang yang gerakannya tergantung pada dalang, sebab tenaga yang diciptakan Tuhan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
  2. Tuhan tidak dapat dilihat di akhirat. Akan tetapi, An-Najjar menyatakan bahwa Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
Adh-Ddirar
Pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan An-Najjar, yakni bahwa manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, Dirrar mengatakan bahwa satu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya perbuatan manusia tidak hanya berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di akhirat, Dirrar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat melalui indera keenam. Ia juga berpendapat bahwa hujjah yang dapat diterima setelah Nabi adalah ijtihad. Hadis ahad tidak dapat dijadikan sumber dalam menetapkan hukum.
1.2.   Doktrin Qodariyah
Harun Nasution menjelaskan pendapat Ghailan tentang doktrin Qadariyah bahwa manusia berkuasa atas perbuatan-perbuatanya. Manusia sendirilah yang melakukan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahqa doktrin Qadariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendakya sendiri. Manusia mempunyai kewenagan untuk melakuakan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang ia lakukan dan juga behak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuat.
Faham takdir dalam pandangan qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhdap dirinya. Dalam faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya bagi alan semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-quran sunnatullah.
3.        Pendapat-pendapat Jabariyah dan Qodariyah
Dalam faham jabariyah takdir manusia difahami bahwa  manusia tidak hanya merupakan wayang yang digerakan dalang. Manusia mempunyai bagian dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam melakukan perbuatannya
Dalam faham Qadariyah, Takdir difahami sebagai ketentuan Allah yang diciptakannya bagi alam semesta beserta seluruh isinya sejak azali, yaitu hokum alam yang dalam isltilah al-Qur’an disebut Sunnatullah. Seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat. Dan seseorang akan diberi ganjaran siksa di neraka. Semua ini atas pilihan sadar manusia sendiri, bukan pilihan akhir  Tuhan. Tidaklah pantas manusia menerima siksaan atas tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri. Kemudian, dengan potensi yang diberikan Tuhan, manusia dapat mengembangkan sunnatullah yang ada. Contoh; manusia yang ditakdirkan tidak  dapat mengangkat beban seperti kekuatan gajah. Tapi potensi yang ada, manusia dapat berfikir mengangkat dengan menggunakan alat. Kreatifitas inilah yang menjadi keyakinan aliran ini. Hanya saja faham ini masih menyisakan pertanyaan, sejauh mana kebebasan yang dimiliki manusia? Siapa yang membatasi daya imajinasi manusia? Dimana batas akhir kreatifitas manusia?
Dilihat dari pendapat di atas, Qadariyah yang ada, lebih cenderung kepada  pendapat yang mengatakan bahwa aliran Qadariyah disandarkan kepada orang-orang yang meyakini adanya sunnatullah sebagai alternative-alternatif pilihan Dalam Kitab al-Milal wan Nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan dengan  pembahasan doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga perbedaan kedua aliran ini tidak begitu  jelas. Ahmad Amin juga menjelaskna bahwa doktrin Qadar lebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah, sebab faham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua lairan ini sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan tanpa campur tangan Tuhan.

0 komentar:

Posting Komentar