Minggu, 06 Mei 2012

Hukum membaca qunut dalam sholat subuh


Salah satu masalah kontroversial di tengah masyarakat Indonesia saat ini adalah qunut Shubuh. Sebagian menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain menganggapnya pekerjaan bid’ah. hukum qunut Shubuh sebenarnya yaitu ada tiga pendapat di kalangan ulama tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh
di antaranya adalah sebagai berikut.

  Pendapat pertama , qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus. Ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Shalih, dan Imam Syafi ’iy
  • Dalil Pendapat Pertama
Dalil terkuat yang dipakai oleh para ulama, yang menganggap qunut subuh itu sunnah, adalah hadits berikut ini.
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia.”
makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
 “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdoa untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdoa (kejelekan atas suatu kaum).” Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shahihah no. 639.
adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja’far Ar-Razy ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan kelemahan dan ketidaktetapan Abu Ja’far Ar-Razy dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Nabi shallahu ‘alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/104 no. 7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh Imam Al Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 6/129.
Kemudian sebagian para ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa hadits ini mempunyai beberapa jalan lain yang menguatkan hadits tersebut, maka mari kita melihat jalan-jalan tersebut.
Jelaslah dari uraian di atas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.
Kemudian, anggaplah dalil mereka itu shahih bisa dipakai berhujjah, tetap tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara terus-menerus, sebab qunut, secara bahasa, mempunyai banyak pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi, dan Ibnul Arabi:
1.      Doa.
  1. Khusyu’.
  2. Ibadah.
  3. Taat.
  4. Menjalankan ketaatan.
  5. Penetapan ibadah kepada Allah.
  6. Diam.
  7. Shalat.
  8. Berdiri.
  9. Lamanya berdiri.
  10. Terus menerus dalam ketaatan.
Selain itu ada makna-makna lain yang dapat dilihat dalam Tafsir Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur`an hal. 428 karya Al-Ashbahany, dan lain-lain.
Maka jelaslah kelemahan dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.

Pendapat kedua , qunut shubuh tidak disyariatkan karena sudah mansukh ‘ terhapus hukumnya’. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury, dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
·         Dalil Pendapat Kedua
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, ketika selesai membaca (surah pada rakaat kedua) dalam shalat Fajr kemudian bertakbir lalu mengangkat kepalanya (i’tidal), berkata, ‘ Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu,’ lalu beliau berdoa dalam keadaan berdiri, ‘Ya Allah, selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah, dan orang-orang yang lemah dari kaum mukminin. Ya Allah, keraskanlah pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadikanlah atas mereka tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakwan, dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Kemudian sampai kepada kami kabar bahwa beliau meninggalkan doa tersebut tatkala telah turun ayat, ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim.’.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)
Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal,
Pertama , ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya qunut, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam Tafsir -nya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghaib.
Kedua , diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata,
وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
“Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan (menunjukkan) untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.’ Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Zhuhur, ‘Isya`, dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir.”
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansukh. Andaikata qunut nazilah telah mansukh, tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara shalat Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut nazilah.

Pendapat ketiga , q unut pada shalat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah yang boleh dilakukan pada shalat shubuh dan pada shalat-shalat lainnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy, dan ahli fiqih dari para ulama Ahlul Hadits.
·         Dalil Pendapat Ketiga
Pertama, hadits Sa’ad bin Thariq bin Asyam Al-Asyja’i,
قُلْتُ لأَبِيْ : "يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ" فَقَالَ : "أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ".
“Saya bertanya kepada ayahku, ‘ Wahai ayahku, engkau shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada shalat Shubuh?’ Maka dia menjawab, ‘ Wahai anakku, (qunut Shubuh) adalah perkara baru (bid’ah).’.” Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nasa`i no. 1080 dan dalam Al-Kubra no. 667, Ibnu Majah no. 1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thayalisy no. 1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/101 no. 6961, Ath-Thahawy 1/249, Ath-Thabarany 8/8177-8179, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 677-678, dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kamal . Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Ghalil no. 435 dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain .
Kedua, hadits Ibnu ‘Umar,
عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : "صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ". فَقُلْتُ : "آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ", قَالَ : "مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ".
“Dari Abu Mijlaz, beliau berkata, ‘ Saya shalat Shubuh bersama Ibnu ‘Umar lalu beliau tidak qunut.’ Maka saya berkata, ‘ Apakah lanjut usia yang menahanmu (melakukan qunut)?’ Ibnu ‘Umar berkata, ‘ Saya tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku.’.” Dikeluarkan oleh Ath-Thahawy 1\246, Al-Baihaqy 2\213, dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma’ Az-Zawa’id 2\137. Al-Haitsamy berkata, “Rawi-rawinya tsiqah.”
Ketiga , tidak ada dalil yang shahih menunjukkan disyariatkannya mengkhususkan qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus.
Keempat , qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal di kalangan shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar pada hadits di atas, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Majmu’ Al-Fatawa , berkata, “Dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar dari para shahabat, mereka menghitung (menganggap) hal tersebut termasuk perkara-perkara baru yang bid’ah.”
Kelima , berbagai nukilan orang-orang, yang berpendapat disyariatkannya qunut shubuh, dari beberapa shahabat bahwa mereka melakukan qunut, terbagi dua:
·       Ada yang shahih tetapi tidak ada sisi pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
·       Ada yang sangat jelas menunjukkan bahwa mereka melakukan qunut shubuh, tetapi nukilan tersebut lemah dan tidak bisa dipakai berhujjah.
Keenam , setelah mengetahui penjelasan di atas, maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa qunut shubuh, dengan membaca doa qunut “Allahummahdina fi man hadait …,” sampai akhir doa kemudian diaminkan oleh para makmum, disyari’atkan secara terus-menerus. Andaikan hal tersebut dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya shalat, karena qunut adalah ibadah, yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak shahabat. Tetapi kenyataannya, qunut hanya dinukil dalam hadits yang lemah. Demikian keterangan Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Zadul Ma’ad .

0 komentar:

Posting Komentar