Jumat, 09 November 2012

Konsep Pendidikan Berkurikulum Tradisional


Di bidang pemikiran, Islam tradisional sebenarnya adalah suatu ajaran yang berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara keyakinan telah dipraktekkan oleh komunitas Muslim (Ahlu al Sunnah wa al Jama’ah), memegang dan mengembangkan ajaran fiqh scholastic madzhab empat. Sayyed Hossein Nasr mencatat salah satu kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Dalam bahasa Fazlur Rahman, kelompok tradisional adalah mereka yang cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh ulama’ terdahulu. 

Pendidikan secara umum sebagaimana dikatakan oleh Philip R. Wallace  tentang pendekatan konservatif, pendekatan konvensional memandang bahwa proses pembelajaran yang dilakukan sebagai mana umumnya guru mengajarkan materi kepada siswanya. Guru mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswa, sedangkan siswa lebih banyak sebagai penerima. Dalam proses pembelajaran bahasa misalnya, dalam pendekatan konvensional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) lebih  berpusat  guru; (b) fokus pembelajaran lebih pada struktur dan format bahasanya (ilmu bahasa); (c) guru berbicara, siswa mendengarkan; (d) para siswa melakukan kegiatan sendiri;  (e) guru selalu memonitor dan mengoreksi tiap-tiap ucapan siswa; (f) guru menjawab pertanyaan para siswa tentang (ilmu) bahasa; (g) guru yang menentukan topik atau tema pembelajaran; (h) guru menilai  hasil belajar siswa; dan (i) kelas tenang.
            Menurut Ujang Sukandi (2003: 8) mendeskripsikan bahwa pendekatan konvensional ditandai dengan  guru mengajar lebih banyak mengajarkan tentang konsep-konsep bukan kompetensi, tujuannya adalah siswa mengetahui sesuatu bukan mampu untuk melakukan sesuatu, dan pada saat proses pembelajaran siswa lebih banyak mendengarkan. Di sini terlihat bahwa pendekatan konvensional yang dimaksud  adalah proses pembelajaran yang lebih banyak didominasi gurunya sebagai “pen-transfer” ilmu, sementara siswa lebih pasif sebagai “penerima” ilmu.              Institute of Computer Technology (2006:10) menyebutnya dengan istilah “Pengajaran tradisional”. Dijelaskannya bahwa pengajaran tradisional yang berpusat pada guru adalah perilaku pengajaran yang paling umum yang diterapkan di sekolah-sekolah di seluruh dunia. Pengajaran model ini dipandang efektif, terutama untuk:
  1. Berbagi informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
  2. Menyampaikan informasi dengan cepat.
  3. Membangkitkan minat akan informasi.
  4. Mengajari siswa yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan.

B. Pola Pendidikan Tradisional

Pola Pendidikan tradisional adalah pola pendidikan yang dirancang berorientasi pada masa lalu. Yang menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pola pendidikan ini banyak diterapkan di pondok Pesantren Salafiyah Pendidikan Tradisional:
  • Guru berbicara murid menyimak.
  • One man show dimana guru menjadi satu-satunya pelaku pendidikan.
  • Tatanan bangku berurut.
  • Otoritas seorang guru lebih diutamakan dan berperan  sebagai contoh bagi murid-muridnya.
  • Masih diberlakukan bentuk hukuman bagi siswa yang tidak taat.
  • Pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini.
  • Penekanan yang mendasar adalah pada bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi  tolok ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa diabaikan.
Namun demikian pendekatan pembelajaran tersebut mempunyai beberapa kelemahan sebagai berikut:
  • Tidak semua siswa memiliki cara belajar terbaik dengan mendengarkan.
  • Sering terjadi kesulitan untuk menjaga agar siswa tetap tertarik dengan apa yang dipelajari.
  • Pendekatan tersebut cenderung tidak memerlukan pemikiran yang kritis.
  • Pendekatan tersebut mengasumsikan bahwa cara belajar siswa itu sama dan tidak bersifat pribadi.

C. Proses Kurikulum

Proses kurikulum memiliki 4 unsur,yaitu:
1) Keputusan tentang tujuan institusi pendidikan
2) Keputusan tentang metode mengajar
3) Keputusan tentang materi pembelajaran
4) Keputusan tentang evaluasi pendidikan

1.Keputusan tentang tujuan institusi pendidikan
Unsur keputusan tentang tujuan institusi pendidikan dalam proses kurikulum terkait dengan visi misi dalam proses kurikulum terkait dengan visi misi yang ditetapkan oleh sekolah.instansi, dalam bentuk apa visi ditentukan dan bagaimana cara supaya sekolah dalam melaksanakan visi itu sendiri, dengan tidak mengabaikan stakeholder. Dalam menjalankan visi hal ini akan berkaitan dengan misi sesuai yang dibutuhkan yaitu melengkapi sarana dan prsarana yang dibutuhkan yang berupa sarana fisik maupun non fisik.
Dalam perspektif pendidikan nasional, tujuan pendidikan nasional dapat dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa : ” Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan pendidikan tertentu.
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran.

2. Keputusan tentang metode mengajar
Unsur keputusan tentang metode mengajar dalam proses kurikulum erat kaitannya dengan misi sekolah, dimana sekolah dalam hal ini lebih khusus lagi guru sebagai pelaksana dan pengembang kurikulum harus mampu memutuskan metode mengajar yang bagaimana yang sesuai dengan materi ajar dan disesuaikan pula keadaan siswa. Termasuk mendesain intruksional atau memutuskan untuk menentukan model-model pembelajaran yang tepat, sehingga visi dan misi sekolah dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
Strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru. Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian (ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok.
 Pembelajaran cenderung bersifat kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, observasi, simulasi atau role playing, diskusi, dan sejenisnya.
Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider.
Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan.
Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat belajar dengan baik.
Sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal.
Dalam proses pembelajaran bahasa misalnya, dalam pendekatan konvensional mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) lebih  berpusat  guru; (b) fokus pembelajaran lebih pada struktur dan format bahasanya (ilmu bahasa); (c) Guru berbicara, siswa mendengarkan; (d) para siswa melakukan kegiatan sendiri;  (e) Guru selalu memonitor dan mengoreksi tiap-tiap ucapan siswa; (f) guru menjawab pertanyaan para siswa tentang (ilmu) bahasa; (g) guru yang menentukan topik atau tema pembelajaran; (h) guru menilai  hasil belajar siswa; dan (i) kelas tenang.
Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual. Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya. Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning, yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik sesuai dengan apa yang telah dirancang sebelumnya.
Berdasarkan definisi teknologi pendidikan yang sekarang, dapat diidentifikasikan empat pola dasar pembelajaran yang dapat diorganisasikan. Pola pertama merupakan pola tradisional dalam bentuk tatap muka guru-siswa. Dalam pola ini guru, yang bertindak selaku Komponen Sistem Instruksional, merupakan satu-satunya sumber. Pola ini dapat digambarkan dalam diagram berikut: PEMBELAJARAN TRADISIONAL (MORRIS, 1963). Pola kedua merupakan guru dengan “alat bantu audiovisual” untuk membantu kegiatan pembelajaran. Pola ini masih tetap memandang guru sebagai Komponen Sistem Instruksional yang utama, dengan sumber belajar lain (seperti Bahan Pelajaran, Perangkat Keras, Teknik, Latar Kegiatan Belajar) yang dipergunakan sebagai tambahan. Morris menyebut pola ini “guru dengan media” PEMBELAJAR TRADISIONAL (MORRIS, 1963). Pola instruksional  ketiga mengandung pemanfaatan sistem instruksional yang lengkap, meliputi pembelajaran bermedia di mana guru terlibat dalam merancang dan menilai serta menyeleksi, maupun berperan dalam fungsi pemanfaatan untuk hal-hal yang belum tercakup dalam sistem instruksional. Sebagian besar proses pembelajaran diberikan melalui sistem instruksional yang telah dirancang sebelumnya, dan yang terdiri dari Komponen Sistem Instruksional yang bukan manusia (Bahan, Peralatan, Teknik, Latar). Pola instruksional keempat meliputi penggunaan sistem instruksional lengkap yang hanya terdiri dari pembelajaran bermedia, di mana guru tidak berperan langsung, pendekatan “media saja”. Kombinasi berbagai pola instruksional dasar tersebut, dapat ditunjukkan sebagai berikut ini:
 a. Sistem Instruksional
Heinich (1970) mengajukan “Model tentang Paradigma Pengelolaan Instruksional” yang sejalan dengan ringkasan diagram Morris, bedanya Heinich menunjukkan dengan jelas hubungan terkendali antara guru kelas dan guru bermedia. Heinich memandang kegiatan kelas yang tradisional sebagai “guru dengan media”, yang meliputi apa yang oleh Morris disebut “pembelajaran tradisional” dan “guru dengan media”. Heinich lebih lanjut menekankan bahwa dalam kegiatan ini guru kelas menguasai semua media, dan keputusan untuk menggunakan atau tidak sepenuhnya ada dalam kewenangannya.

 b. Suatu Model Paradigma Baru Pengelolaan Instruksional
Pola hubungan kedua Heinich  menunjukkan “pembagian tanggung jawab” antara guru kelas dan guru bermedia. Pola ini meskupun mirip dengan diagram Morris “guru dan media”, namun lebih eksplisit mengenai kendali oleh guru bermedia. Pengaturan ini memungkinkan sistem yang bersifat adaptif, meskipun tetap mempertahankan keunggulan “mutu pengajaran dalam arti luas” melalui media. Dengan kata lain siswa menggunakan sebagian waktunya dengan guru bermedia dan selebihnya dengan guru kelas. Bukan guru kelas yang memutuskan apakah siswa perlu belajar dari guru bermedia atau tidak. Keputusan tersebut ditetapkan pada tingkat perencanaan kurikulum. Pola ketiga oleh Heinich menunjukkan di mana seluruh pembelajaran dilakukan oleh guru bermedia. Pola ini mirip dengan pola “media saja” dalam pola ini guru kelas sebagai Komponen Sistem Instruksional insani, tidak terlibat dalam fungsi pemanfaatan. Guru bermedia tidak mencapai siswa melalui guru kelas, dan tidak pula berbagi tanggung jawab dengan guru kelas. (Heinich,1970).
Oleh karena itu, teknologi pendidikan di samping mempunyai dampak pada pengambilan keputusan instruksional pada tingkat-tingkat yang tinggi, juga memungkinkan adanya empat pola pembelajaran yang berbeda. Keempat pola ini bila dinyatakan berdasarkan definisi yang sekarang, dapat diringkas sebagai berikut:

1). Sumber Belajar Insani/Komponen Sistem Instruksional saja 2). Sumber Belajar/Komponen Sistem Instruksional berupa Bahan, Alat, Teknik dan Latar yang berfungsi melalui Sumber Belajar/Komponen Sistem Instruksional Insani terhadap si-belajar. 3). Sumber Belajar/Komponen Sistem Instruksional berupa Bahan, Alat, Teknik dan Latar (yang dipadukan dalam produk atau sistem instruksional dalam bentuk “pembelajaran bermedia”) yang berinteraksi dengan si-belajar dalam suasana tanggung jawab bersama dengan Sumber Belajar/Komponen Sistem Instruksional Insani. 4). Sumber Belajar/Komponen Sistem Instruksional berupa Bahan, Alat, Teknik dan Latar (yang terpadu dalam sistem instruksional berbentuk pembelajaran bermedia) yang berinteraksi sendiri dengan si belajar tanpa campur tangan Sumber Belajar/Komponen Sistem Instruksional Insani.

3. Keputusan tentang materi pembelajaran
Unsur keputusan tentang isi/ materi pembelajaran dalam proses kurikulum untuk melaksanakan keputusan tentang isi/materi pembelajaran di sekolah adalah dengan memahami tujuan instruksi /visi misi sekolah. Materi pembelajaran lebih memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu, materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang diangkat dari masalah-masalah sosial yang nyata, misalnya tentang ekonomi, sosial bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diatur sedemikian rupa dan diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi. Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Berkenaan dengan penentuan materi pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), pendidik memiliki wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :
1)      Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan kontribusi untuk pemahaman ke depan.
2)      Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik. Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
3)      Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih lanjut.
Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
4)      Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
5)      Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan mereka.

4.Keputusan tentang evaluasi pendidikan
Unsur keputusan tentang evaluasi dalam proses kurikulum adalah unsur keputusan tentang evaluasi dalam pendidikan tidak kalah pentingnya dengan unsur-unsur yang lain. Hal ini diperlukan sebagai alat ukur berhasil tidaknya pengembangan kurikulum yang telah dilaksankan disekolah, sehingga dapat diketahui apakah kurikulum yang sudah dirancang dan dilaksankan dapat berjalan sesuai yang diharapkan.
Evaluasi dalam pendidikan juga bertujuan untuk menilai sejauh mana ketepatan kurikulum dengan keadaan dan perkembangan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi infomasi dan komunikasi seperti sekarang ini, sehingga apabila terdapat hal-hal yang kurang tepat atau kurang sesuai dengan perubahan zaman, maka di masa yang akan datang kurikulum dapat dirubah atau dikembangkan dan tentunya disesuaikan dengan keadaan sekarang.
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum penting. Hasil – hasil evaluasi kurikulum  dapat digunakan oleh guru-guru, kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya dengan mengetahui proses dan hasil belajar siswa.

D. Teori Pembelajaran
Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan diantara variabel-variabel yang menentukan hasil belajar, atau bagaimana seseorang belajar, sedangkan teori pembelajaran menaruh perhatian pada bagaimana seseorang mempengaruhi orang lain agar terjadi hal belajar, atau upaya mengontrol variabel-variabel yang dispesifikasi dalam teori belajar agar dapat memudahkan belajar.
Berikut beberapa teori dalam pembelajaran:
  • Teori belajar adalah deskriptif karena tujuan utamanya menjelaskan proses belajar.
  •  Teori belajaran adalah preskriptif karena tujuan utamanya menetapkan metode pembelajaran yang optimal.
Teori pembelajaran preskriptif dimaksudkan untuk mencapai tujuan, sedangkan teori pembelajaran deskriptif dimaksudkan untuk memberikan hasil, itulah sebabnya variabel yang diamati dalam teori-teori pembelajaran yang preskriptif adalah metode yang optimal untuk mencapai tujuan. Dengan kata lain, teori perspektif adalah goal oriented (untuk mencapai tujuan), sedangkan teori deskriptif goal free (untuk memerikan hasil).
Sumber lain, Bruner (1964) diakui oleh kalangan instructional theorist sebagai peletak dasar pengembang teori-teori pembelajaran, di samping Skinner (1954) dan Ausubel (1968), Bruner (1964) membuat pembedaan antara teori belajar dan teori pembelajaran. Teori belajar adalah deskriptif, sedangkan teori pembelajaran adalah preskriptif. Teori belajar mendeskripsikan adanya proses belajar, teori pembelajaran mempreskripsikan strategi atau metode pembelajaran yang optimal yang dapat mempermudah proses belajar.

Kelebihan dan Kekurangan Teori Belajar Deskriptif dan Preskriptif
a.Deskriptif
Kelebihan:
  • Lebih terkonsep sehingga siswa lebih memahami materi yang akan disampaikan.
  • Mendorong siswa untuk mencari sumber pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam mengerjakan suatu tugas.
Kekurangan:
  • Kurang memperhatikan sisi psikologis siswa dalam mendalami suatu materi.

b. Preskriptif
Kelebihan:
  • Lebih sistematis sehingga memiliki arah dan tujuan yang jelas,
    banyak memberi motivasi agar dalam proses belajar dapat.
    mengoptimalisasikan kerja otak secara maksimal.

Kekurangan:
  • Membutuhkan waktu cukup lama bahwa teori pembelajaran termasuk teori preskriptif yang berpasangan dengan teori belajar yang termasuk teori

BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Bahwa pengajaran tradisional yang berpusat pada guru adalah perilaku pengajaran yang paling umum yang diterapkan di sekolah-sekolah di seluruh dunia. Pengajaran model ini dipandang efektif, terutama untuk:
  1. Berbagi informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain.
  2. Menyampaikan informasi dengan cepat.
  3. Membangkitkan minat akan informasi.
Dalam hal ini Teori belajar adalah deskriptif, sedangkan teori pembelajaran adalah preskriptif. Teori belajar mendeskripsikan adanya proses belajar, teori pembelajaran mempreskripsikan strategi atau metode pembelajaran yang optimal yang dapat mempermudah proses belajar. Dan dari ke dua teori tersebut mempunyai berbagai kelebihan dan ada juga kekurangan diantaranya adalah :
a.Deskriptif
Kelebihan:
  • Lebih terkonsep sehingga siswa lebih memahami materi yang akan disampaikan.
  • Mendorong siswa untuk mencari sumber pengetahuan sebanyak-banyaknya dalam mengerjakan suatu tugas.
Kekurangan:
  • Kurang memperhatikan sisi psikologis siswa dalam mendalami suatu materi.
b. Preskriptif
Kelebihan:
  • Lebih sistematis sehingga memiliki arah dan tujuan yang jelas,
    banyak memberi motivasi agar dalam proses belajar dapat.
    mengoptimalisasikan kerja otak secara maksimal.
Kekurangan:
Membutuhkan waktu cukup lama bahwa teori pembelajaran termasuk teori preskriptif yang berpasangan dengan teori belajar yang termasuk teori

0 komentar:

Posting Komentar