Jumat, 08 Juni 2012
Perbedaan-perbedaan
yang muncul setelah nabi wafat mengakibatkan banyak sekali aliran-aliran yang
saling bertentangan seperti alirran Jabariyah, aliran Qadariyah,aliran
Mu’tazilah, Syi’ah dan lain-lain. Sehingga muncullah aliran Ahlussunnah Wal
jamaah yang menjadi penengah diantra kelompok-kelompok yang bertentangan
tersebut.
Dalam
masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah disyariatkan (wajib
maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari Al-Qur`an maupun As-sunnah yang
shahih menjelaskannya. Kalau tidak ada dalil yang benar, hal itu tergolong
membuat perkara baru dalam agama (bid’ah). Dan agar kita terjauhkan dari
sesuatu yang berbau bid’ah maka dalam makalah ini akan dijelaskan tentang
beberapa hal mengenai hukum islam yang diantarana mengenai hukum membaca qunut
dalam sholat subuh, hukum ziarah kubur,dan hukum adzan dua kali pada saat
Sholat jum’at.
1.
Hukum membaca qunut
dalam sholat subuh
Salah satu masalah
kontroversial di tengah masyarakat Indonesia saat ini adalah qunut Shubuh.
Sebagian menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain menganggapnya
pekerjaan bid’ah. hukum qunut Shubuh sebenarnya yaitu ada tiga pendapat di
kalangan ulama tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh di antaranya
adalah sebagai berikut.
1.1
Pendapat pertama
, qunut shubuh disunnahkan secara terus-menerus. Ini adalah pendapat Malik,
Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Shalih, dan Imam Syafi ’iy[1]
- Dalil Pendapat Pertama
Dalil terkuat yang dipakai oleh para ulama, yang menganggap
qunut subuh itu sunnah, adalah hadits berikut ini.
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ
وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam qunut pada shalat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia.” [2]
makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan
hadits shahih yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut nazilah, sebagaimana
dalam hadits Anas bin Malik,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdoa untuk (kebaikan) suatu kaum
atau berdoa (kejelekan atas suatu kaum).” Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan Ibnul
Jauzi dalam At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany
dalam Ash-Shahihah no. 639.
adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja’far Ar-Razy ini
sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari perbedaan lafazh
tersebut dan menunjukkan kelemahan dan ketidaktetapan Abu Ja’far Ar-Razy dalam
periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di atas dan
kadang meriwayatkan dengan lafazh,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Nabi shallahu ‘alahi wa
alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf
2/104 no. 7003 (cet. Darut Taj) dan disebutkan pula oleh Imam Al Maqdasy dalam Al-Mukhtarah
6/129.
Kemudian sebagian para ulama Syafi’iyah menyebutkan bahwa
hadits ini mempunyai beberapa jalan lain yang menguatkan hadits tersebut, maka
mari kita melihat jalan-jalan tersebut.
Jelaslah dari uraian di atas bahwa seluruh dalil-dalil yang
dipakai oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa
dikuatkan.
Kemudian, anggaplah dalil mereka itu shahih bisa dipakai
berhujjah, tetap tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh
secara terus-menerus, sebab qunut, secara bahasa, mempunyai banyak pengertian.
Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dari
Al-Iraqi, dan Ibnul Arabi:
1.
Doa.
- Khusyu’.
- Ibadah.
- Taat.
- Menjalankan ketaatan.
- Penetapan ibadah kepada Allah.
- Diam.
- Shalat.
- Berdiri.
- Lamanya berdiri.
- Terus menerus dalam ketaatan.
Selain itu ada makna-makna lain yang dapat dilihat dalam Tafsir
Al-Qurthubi 2/1022, Mufradat Al-Qur`an hal. 428 karya
Al-Ashbahany, dan lain-lain.
Maka jelaslah kelemahan dalil orang yang menganggap qunut
subuh terus-menerus itu sunnah.
1.2
Pendapat kedua
, qunut shubuh tidak disyariatkan karena sudah mansukh ‘ terhapus hukumnya’. Ini adalah
pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury, dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
· Dalil
Pendapat Kedua
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat
Bukhary-Muslim,
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ وَيُكَبِّرُ
وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ
اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ
الْمُُؤْمِنِيْنَ اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِيْ
يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ
الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا
أَنَهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ
: (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ
أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam,
ketika selesai membaca (surah pada rakaat kedua) dalam shalat Fajr kemudian
bertakbir lalu mengangkat kepalanya (i’tidal), berkata, ‘ Sami’allahu liman hamidah rabbana
walakal hamdu,’ lalu beliau berdoa dalam keadaan berdiri, ‘Ya Allah,
selamatkanlah Al-Walid bin Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi
Rabi’ah, dan orang-orang yang lemah dari kaum mukminin. Ya Allah, keraskanlah
pijakan-Mu (adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadikanlah atas mereka
tahun-tahun (kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada
masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakwan, dan
‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya.’ Kemudian sampai kepada
kami kabar bahwa beliau meninggalkan doa tersebut tatkala telah turun ayat,
‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah
menerima taubat mereka, atau mengadzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu
orang-orang yang zhalim.’.” (diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim)
Berdalilkan dengan hadits ini menganggap mansukh-nya
qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal,
Pertama , ayat tersebut tidaklah menunjukkan mansukh-nya
qunut, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam Tafsir
-nya, sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa
segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan hanya
Dialah yang mengetahui perkara yang ghaib.
Kedua , diriwayatkan oleh Bukhary-Muslim dari Abu Hurairah,
beliau berkata,
وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي
الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ
الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
“Demi Allah, sungguh saya akan mendekatkan (menunjukkan)
untuk kalian cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam.’
Maka Abu Hurairah melakukan qunut pada shalat Zhuhur, ‘Isya`, dan Shubuh.
Beliau mendoakan kebaikan untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk
orang-orang kafir.”
Ini menunjukkan bahwa qunut nazilah belum mansukh.
Andaikata qunut nazilah telah mansukh, tentunya Abu Hurairah
tidak akan mencontohkan cara shalat Nabi shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa
sallam dengan qunut nazilah.
1.3
Pendapat ketiga
, qunut pada shalat shubuh tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah
yang boleh dilakukan pada shalat shubuh dan pada shalat-shalat lainnya. Ini
adalah pendapat Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy, dan
ahli fiqih dari para ulama Ahlul
Hadits.
· Dalil
Pendapat Ketiga
Pertama, hadits Sa’ad bin Thariq bin Asyam Al-Asyja’i,
قُلْتُ لأَبِيْ : "يَا أَبَتِ إِنَّكَ
صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ
رَضِيَ الله عَنْهُمْ
هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ
خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ" فَقَالَ : "أَيْ
بَنِيْ مُحْدَثٌ".
“Saya bertanya kepada ayahku, ‘ Wahai ayahku, engkau shalat
di belakang Rasulullah shallallahu ‘ alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang
Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum di sini dan di Kufah
selama 5 tahun, apakah mereka melakukan qunut pada shalat Shubuh?’ Maka dia
menjawab, ‘ Wahai anakku, (qunut Shubuh) adalah perkara baru (bid’ah).’.” Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402,
An-Nasa`i no. 1080 dan dalam Al-Kubra no. 667, Ibnu Majah no.
1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thayalisy no. 1328, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf
2/101 no. 6961, Ath-Thahawy 1/249, Ath-Thabarany 8/8177-8179, Ibnu Hibban
sebagaimana dalam Al-Ihsan no. 1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy
dalam Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq
no. 677-678, dan Al-Mizzy dalam Tahdzibul Kamal . Dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul Ghalil no. 435 dan Syaikh
Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa Fi Ash-Shahihain .
Kedua, hadits Ibnu ‘Umar,
عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : "صَلَّيْتُ
مَعَ اِبْنِ عُمَرَ صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ". فَقُلْتُ : "آلكِبَرُ
يَمْنَعُكَ", قَالَ : "مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ".
“Dari Abu Mijlaz, beliau berkata, ‘ Saya shalat Shubuh
bersama Ibnu ‘Umar lalu beliau tidak qunut.’ Maka saya berkata, ‘ Apakah lanjut
usia yang menahanmu (melakukan qunut)?’ Ibnu ‘Umar berkata, ‘ Saya tidak
menghafal hal tersebut dari para shahabatku.’.” Dikeluarkan oleh Ath-Thahawy 1\246,
Al-Baihaqy 2\213, dan Ath-Thabarany sebagaimana dalam Majma’ Az-Zawa’id
2\137. Al-Haitsamy berkata, “Rawi-rawinya tsiqah.”
Ketiga , tidak ada dalil yang shahih menunjukkan disyariatkannya
mengkhususkan qunut pada shalat Shubuh secara terus-menerus.
Keempat , qunut shubuh secara terus-menerus tidak dikenal di
kalangan shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar pada hadits di atas,
bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam Majmu’ Al-Fatawa ,
berkata, “Dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar dari para shahabat, mereka
menghitung (menganggap) hal tersebut termasuk perkara-perkara baru yang
bid’ah.”
Kelima , berbagai nukilan orang-orang, yang berpendapat
disyariatkannya qunut shubuh, dari beberapa shahabat bahwa mereka melakukan
qunut, terbagi dua:
· Ada
yang shahih tetapi tidak ada sisi pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
· Ada
yang sangat jelas menunjukkan bahwa mereka melakukan qunut shubuh, tetapi nukilan
tersebut lemah dan tidak bisa dipakai berhujjah.
Keenam , setelah mengetahui penjelasan di atas, maka sangatlah
mustahil mengatakan bahwa qunut shubuh, dengan membaca doa qunut “Allahummahdina
fi man hadait …,” sampai akhir doa kemudian diaminkan oleh para makmum,
disyari’atkan secara terus-menerus. Andaikan hal tersebut dilakukan secara
terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat dengan nukilan yang
pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya shalat, karena qunut adalah ibadah,
yang kalau dilakukan secara terus menerus maka akan dinukil oleh banyak
shahabat. Tetapi kenyataannya, qunut hanya dinukil dalam hadits yang lemah.
Demikian keterangan Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Zadul Ma’ad
.
2.
Hukum ziarah kubur
Dari Buraidah,
Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya dahulu saya melarang kamu ziarah ke kubur. Kemudian Muhammad telah mendapat izin berziarah ke kubur ibunya. Maka berziarahlah kamu, karena sesungguhnya ziarah itu mengingatkan kepada hari akhirat." (riwayat Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).
Proses hukum dan motivasi ziarah ke kubur.
Pada permulaan pengembangan Islam, Rasulullah melarang ummatnya untuk melakukan ziarah ke kubur. Adapun motivasi larangan itu adalah karena di jaman jahiliyah, kuburan itu menjadi salah satu sumber dan sasaran pembaktian kaum penyembah berhala. Bahkan jauh sebelum itu, di jaman Nabi Nuh a.s., sebagian kaumnya memandang kuburan itu sebagai satu tempat yang suci (kudus). Dengan larangan menziarahi kubur itu pada permulaannya, maka dapatlah dibendung kekhawatiran timbulnya kembali paham syirik, sedangkan iman dan tauhid yang ditanamkan oleh Rasulullah kepada pengikut-pengikutnya baru saja pada taraf permulaan, belum berurat berakar dalam jiwa mereka.
Setelah pembinaan ajaran iman dan tauhid itu semakin kuat, Rasulullah menerima wahyu yang mengizinkan untuk menziarahi kubur ibunya, sehingga beliau menunjukkan dengan perbuatannya sendiri kebolehan ziarah ke kubur itu.
Mengenai kasus Rasulullah menziarahi kubur ibunya, disebutkan dalam satu hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, yang artinya sebagai berikut:
"Nabi Muhammad s.a.w. menziarahi kubur ibunya. Beliau menangis, dan menangis pula orang-orang di sekelilingnya. Kemudian, Nabi berkata: Saya meminta izin kepada Tuhanku (Allah) supaya diperkenankan memohonkan doa ampunan untuk ibuku. Permohonanku itu tidak diizinkan. Kemudian aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, dan diizinkan. Berziarahlah kamu, agar kamu teringat kepada kematian." (riwayat Ahmad dan Muslim).
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ziarah kubur itu dianjurkan, sebab hikmahnya akan mengingatkan dan menyadarkan umat manusia tentang kehidupan hari akhirat yang akan datang dan keharusan melakukan persiapan-persiapan untuk menghadapi saat-saat kepastian yang mesti ditemukan oleh setiap orang yaitu kematian atau ajalnya suatu saat nanti.
Dari proses perkembangan tentang soal ziarah kubur itu, yang pada mulanya dilarang, kemudian diizinkan, dapatlah ditarik satu kesimpulan bahwa hukum Islam senantiasa memperhatikan kondisi ummat dan situasi suatu zaman.
Dalam satu hadist lain yang diriwayatkan oleh Hakim dari Abi Zar, Rasulullah menyatakan:
"Ziarahilah kubur, Anda dengan itu akan teringat ke akhirat. Mandikanlah orang yang mati, karena sesungguhnya hal itu menjadi obat mujarab yang mengandung pengajaran yang mantap. Sembahyangkanlah jenazah, mudah-mudahan hal itu akan menggugah hati Anda, sebab orang yang berdukacita berada di bawah naungan Ilahi dalam menghadapi tiap-tiap kebaikan." (Riwayat Hakim).
Dari berbagai hadist yang menganjurkan dan mendorong melakukan ziarah kubur itu, maka para ulama berpendapat bahwa hukum ziarah kubur itu ialah sunah (sunat). Adapun hikmathnya mengandung dua macam nilai.
Pertama, mengingatkan manusia pada kematian, bahwa pada saat yang tentu menurut ajal yang ditetapkan Tuhan, tiap-tiap orang akan kembali ke hadiratNya.
Kedua, untuk memohonkan doa ampunan (istighfar) kepada Allah SWT supaya dosa orang yang diziarahi kuburnya itu, diampunkan oleh Allah. Jadi ziarah kubur itu tidaklah boleh didasarkan untuk meminta restu, karena ada sesuatu hajat, meminta berkat dan lain-lain sebagainya. Kemudian ditaburkan bunga, dibakar kemenyan dan perbuatan-perbuatan lainnya yang tidak disyariatkan, bahkan merupakan bid'ah yang sesat dan menyesatkan. Tetapi haruslah didasarkan kepada dua motivasi yang diterangkan di atas.
Adalah satu kenyataan, bahwa manusia pada umumnya selalu lupa dan lalai terhadap datangnya kematian. Dengan ziarah ke kubur itu, maka perbuatan itu dengan sendirinya mengingatkan manusia kepada kematian itu.
Sasaran hikmat yang kedua tentang ziarah kubur itu ialah memberikan pertolongan yang dapat dilakukan oleh orang (keluarga yang masih hidup terhadap orang yang sudah meninggal dunia, yang memohonkan doa ampunan pada Allah SWT terhadap dosa-dosa mereka. Pertalian kekeluargaan dan persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) pada umumnya tidaklah hanya terbatas dalam kehidupan di dunia ini, tapi juga sampai-sampai dalam kehidupan sesudah mati dan di akhirat kelak.
Rasulullah menziarahi kubur para sahabat.
Rasulullah acapkali menziarahi kuburan para sahabat. Diceritakan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi sering-sering ziarah ke pekuburan di Madinah, dan setiap kali ziarah, beliau mengucapkan yang artinya:
"Keselamatan untuk kamu, hai penghuni-penghuni kubur. Mudah-mudahan Allah SWT mengampuni dosa-dosa kami dan dosa-dosa kamu. Kamu adalah orang-orang yang telah mendahului kami dan kami akan mengikuti jejakmu." (Riwayat Tirmizi).
Dalam suatu hadist yang lain, yang diriwayatkan dari Buraidah, diterangkan ucapan dan doa yang sering dibacakan oleh Rasulullah tatkala ziarah kubur, yang artinya sebagai berikut:
"Keselamatan untuk kamu, hai ahli kubur orang-orang Mukmin dan Muslim. Dengan kehendak Tuhan, kamipun akan menemui kamu. Kamu telah mendahului kami, dan kami akan menyusul. Kami mohonkan kepada Allah keselamatan untuk kami dan kamu." (Riwayat Ahmad dan Muslim).
Menurut keterangan Siti Aisyah, apabila giliran Rasulullah bermalam di rumahnya, maka biasanya di tengah malam beliau pergi menziarahi pemakaman Baqi'. Adapun Baqi' itu adalah satu pemakaman yang letaknya masih dalam kota Madinah, tidak berapa jauh dari Masjid Nabi, dimana dikuburkan sebagian besar para sahabat.
Ziarah kubur itu tidak tentu waktunya, dapat dilakukan pada saat-saat luang atau berbagai kesempatan. Tidak ada keistimewaan pada hari-hari tertentu, seperti menjelang tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal dan lain-lainnya, yang di Indonesia dijadikan orang sebagai satu tradisi, padahal tidak disyariatkan mesti pada hari-hari tersebut.
Biasanya pada hari-hari tersebut, kuburan tak ubahnya seperti "pasar", ramai dikunjungi oleh orang-orang yang berziarah, walaupun...mungkin sebagian besar daripadanya hanya ziarah sekali setahun. Ziarah hanya sekali setahun tidak banyak dapat menghunjamkan ke dalam hati nurani tentang kesadaran mengingat kematian.
Pada tahun-tahun pertama sesudah Siti Khadijah wafat, Rasulullah hampir satu kali seminggu ziarah ke kuburan sang istri yang beliau cintai itu. Diterangkan oleh Nafi', bahwa dia sendiri lebih dari 100 kali melihat Ibnu Umar ziarah ke kubur Nabi, Abu Bakar dan ayahnya sendiri (Umar bin Khattab).
Apakah kaum wanita boleh ziarah ke kubur?
Para ulama dan Fuqaha' mempunyai dua pendapat. Pertama, yang berpendapat kaum wanita tidak boleh ziarah ke kubur, dan yang kedua, mengatakan boleh.
Yang pertama mendasarkan pendapat mereka kepada satu hadist yang melarang kaum wanita turut mengiringkan jenazah ke pekuburan, dengan berbagai pertimbangan/alasan seperti bahwa umumnya kaum wanita adalah mudah terhanyut emosi dan perasaan iba, sedih, sehingga dikhawatirkan jiwa mereka tidak kuat melihat kuburan yang terhampar dan perasaan duka cita yang mendalam bisa timbul kembali dan menimbulkan histeria yang berlebihan. Sementara ratapan atau tangisan dan jeritan yang berlebihan justru akan menyengsarakan arwah almarhum yang berada di alam kubur.
Sementara para ulama yang memperbolehkan kaum wanita untuk berziarah didasarkan atas pengertian kepada hadist Nabi yang menganjurkan untuk berziarah, bahwa ziarah itu bersifat umum, boleh dilakukan oleh kaum laki-laki maupun perempuan, sementara memang banyak hadist-hadist lainnya yang menguatkan pendapat bahwa kaum wanita boleh berziarah ke pekuburan. Beberapa di antara hadist tersebut menyatakan:
"Dari Aisyah, dia berkata:
Apakah yang harus aku ucapkan jika aku ziarah, ya Rasulullah? Nabi berkata: Katakanlah: Keselamatan untuk kamu hai ahli kubur orang-orang yang Mukmin." (Riwayat Muslim).
Nabi memberikan jawaban yang demikian adalah satu pertanda bahwa kaum wanita dibolehkan ziarah kubur. Kalau tidak, tentu Nabi akan melarang Siti Aisyah.
Diriwayatkan lagi dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa pada suatu hari dia bertemu dengan Siti Aisyah, tatkala Ummul Mukminin itu kembali dari pekuburan. Mulaikah menanyakan:
"Dari manakah Anda datang?"
"Dari kubur saudara saya, Abdur Rahman."
"Apakah Rasulullah tidak melarang wanita ziarah ke kuburan?" tanya Mulaikah.
Akhirnya, dijawab oleh Aisyah:
"Memang betul. Rasulullah (mula-mula) melarang ziarah ke kubur, tapi kemudian disuruhnya melakukan ziarah itu." (Riwayat Hakim dan Baihaqi).
Berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa pendapat yang memperbolehkan kaum wanita melakukan ziarah kubur, tidak berbeda seperti laki-laki adalah lebih kuat dan dapat dijadikan pegangan dalam beramal. Sebagai penutup, kita kutip satu hadist yang mengatakan:
"Aku tinggalkan kepada kamu dua pengajar. Yang pertama yang bisu; yang kedua yang berbicara. Adapun yang bisu ialah Al-Maut, dan yang berbicara ialah Al-Quran.
"Sesungguhnya dahulu saya melarang kamu ziarah ke kubur. Kemudian Muhammad telah mendapat izin berziarah ke kubur ibunya. Maka berziarahlah kamu, karena sesungguhnya ziarah itu mengingatkan kepada hari akhirat." (riwayat Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).
Proses hukum dan motivasi ziarah ke kubur.
Pada permulaan pengembangan Islam, Rasulullah melarang ummatnya untuk melakukan ziarah ke kubur. Adapun motivasi larangan itu adalah karena di jaman jahiliyah, kuburan itu menjadi salah satu sumber dan sasaran pembaktian kaum penyembah berhala. Bahkan jauh sebelum itu, di jaman Nabi Nuh a.s., sebagian kaumnya memandang kuburan itu sebagai satu tempat yang suci (kudus). Dengan larangan menziarahi kubur itu pada permulaannya, maka dapatlah dibendung kekhawatiran timbulnya kembali paham syirik, sedangkan iman dan tauhid yang ditanamkan oleh Rasulullah kepada pengikut-pengikutnya baru saja pada taraf permulaan, belum berurat berakar dalam jiwa mereka.
Setelah pembinaan ajaran iman dan tauhid itu semakin kuat, Rasulullah menerima wahyu yang mengizinkan untuk menziarahi kubur ibunya, sehingga beliau menunjukkan dengan perbuatannya sendiri kebolehan ziarah ke kubur itu.
Mengenai kasus Rasulullah menziarahi kubur ibunya, disebutkan dalam satu hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, yang artinya sebagai berikut:
"Nabi Muhammad s.a.w. menziarahi kubur ibunya. Beliau menangis, dan menangis pula orang-orang di sekelilingnya. Kemudian, Nabi berkata: Saya meminta izin kepada Tuhanku (Allah) supaya diperkenankan memohonkan doa ampunan untuk ibuku. Permohonanku itu tidak diizinkan. Kemudian aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, dan diizinkan. Berziarahlah kamu, agar kamu teringat kepada kematian." (riwayat Ahmad dan Muslim).
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ziarah kubur itu dianjurkan, sebab hikmahnya akan mengingatkan dan menyadarkan umat manusia tentang kehidupan hari akhirat yang akan datang dan keharusan melakukan persiapan-persiapan untuk menghadapi saat-saat kepastian yang mesti ditemukan oleh setiap orang yaitu kematian atau ajalnya suatu saat nanti.
Dari proses perkembangan tentang soal ziarah kubur itu, yang pada mulanya dilarang, kemudian diizinkan, dapatlah ditarik satu kesimpulan bahwa hukum Islam senantiasa memperhatikan kondisi ummat dan situasi suatu zaman.
Dalam satu hadist lain yang diriwayatkan oleh Hakim dari Abi Zar, Rasulullah menyatakan:
"Ziarahilah kubur, Anda dengan itu akan teringat ke akhirat. Mandikanlah orang yang mati, karena sesungguhnya hal itu menjadi obat mujarab yang mengandung pengajaran yang mantap. Sembahyangkanlah jenazah, mudah-mudahan hal itu akan menggugah hati Anda, sebab orang yang berdukacita berada di bawah naungan Ilahi dalam menghadapi tiap-tiap kebaikan." (Riwayat Hakim).
Dari berbagai hadist yang menganjurkan dan mendorong melakukan ziarah kubur itu, maka para ulama berpendapat bahwa hukum ziarah kubur itu ialah sunah (sunat). Adapun hikmathnya mengandung dua macam nilai.
Pertama, mengingatkan manusia pada kematian, bahwa pada saat yang tentu menurut ajal yang ditetapkan Tuhan, tiap-tiap orang akan kembali ke hadiratNya.
Kedua, untuk memohonkan doa ampunan (istighfar) kepada Allah SWT supaya dosa orang yang diziarahi kuburnya itu, diampunkan oleh Allah. Jadi ziarah kubur itu tidaklah boleh didasarkan untuk meminta restu, karena ada sesuatu hajat, meminta berkat dan lain-lain sebagainya. Kemudian ditaburkan bunga, dibakar kemenyan dan perbuatan-perbuatan lainnya yang tidak disyariatkan, bahkan merupakan bid'ah yang sesat dan menyesatkan. Tetapi haruslah didasarkan kepada dua motivasi yang diterangkan di atas.
Adalah satu kenyataan, bahwa manusia pada umumnya selalu lupa dan lalai terhadap datangnya kematian. Dengan ziarah ke kubur itu, maka perbuatan itu dengan sendirinya mengingatkan manusia kepada kematian itu.
Sasaran hikmat yang kedua tentang ziarah kubur itu ialah memberikan pertolongan yang dapat dilakukan oleh orang (keluarga yang masih hidup terhadap orang yang sudah meninggal dunia, yang memohonkan doa ampunan pada Allah SWT terhadap dosa-dosa mereka. Pertalian kekeluargaan dan persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) pada umumnya tidaklah hanya terbatas dalam kehidupan di dunia ini, tapi juga sampai-sampai dalam kehidupan sesudah mati dan di akhirat kelak.
Rasulullah menziarahi kubur para sahabat.
Rasulullah acapkali menziarahi kuburan para sahabat. Diceritakan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi sering-sering ziarah ke pekuburan di Madinah, dan setiap kali ziarah, beliau mengucapkan yang artinya:
"Keselamatan untuk kamu, hai penghuni-penghuni kubur. Mudah-mudahan Allah SWT mengampuni dosa-dosa kami dan dosa-dosa kamu. Kamu adalah orang-orang yang telah mendahului kami dan kami akan mengikuti jejakmu." (Riwayat Tirmizi).
Dalam suatu hadist yang lain, yang diriwayatkan dari Buraidah, diterangkan ucapan dan doa yang sering dibacakan oleh Rasulullah tatkala ziarah kubur, yang artinya sebagai berikut:
"Keselamatan untuk kamu, hai ahli kubur orang-orang Mukmin dan Muslim. Dengan kehendak Tuhan, kamipun akan menemui kamu. Kamu telah mendahului kami, dan kami akan menyusul. Kami mohonkan kepada Allah keselamatan untuk kami dan kamu." (Riwayat Ahmad dan Muslim).
Menurut keterangan Siti Aisyah, apabila giliran Rasulullah bermalam di rumahnya, maka biasanya di tengah malam beliau pergi menziarahi pemakaman Baqi'. Adapun Baqi' itu adalah satu pemakaman yang letaknya masih dalam kota Madinah, tidak berapa jauh dari Masjid Nabi, dimana dikuburkan sebagian besar para sahabat.
Ziarah kubur itu tidak tentu waktunya, dapat dilakukan pada saat-saat luang atau berbagai kesempatan. Tidak ada keistimewaan pada hari-hari tertentu, seperti menjelang tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal dan lain-lainnya, yang di Indonesia dijadikan orang sebagai satu tradisi, padahal tidak disyariatkan mesti pada hari-hari tersebut.
Biasanya pada hari-hari tersebut, kuburan tak ubahnya seperti "pasar", ramai dikunjungi oleh orang-orang yang berziarah, walaupun...mungkin sebagian besar daripadanya hanya ziarah sekali setahun. Ziarah hanya sekali setahun tidak banyak dapat menghunjamkan ke dalam hati nurani tentang kesadaran mengingat kematian.
Pada tahun-tahun pertama sesudah Siti Khadijah wafat, Rasulullah hampir satu kali seminggu ziarah ke kuburan sang istri yang beliau cintai itu. Diterangkan oleh Nafi', bahwa dia sendiri lebih dari 100 kali melihat Ibnu Umar ziarah ke kubur Nabi, Abu Bakar dan ayahnya sendiri (Umar bin Khattab).
Apakah kaum wanita boleh ziarah ke kubur?
Para ulama dan Fuqaha' mempunyai dua pendapat. Pertama, yang berpendapat kaum wanita tidak boleh ziarah ke kubur, dan yang kedua, mengatakan boleh.
Yang pertama mendasarkan pendapat mereka kepada satu hadist yang melarang kaum wanita turut mengiringkan jenazah ke pekuburan, dengan berbagai pertimbangan/alasan seperti bahwa umumnya kaum wanita adalah mudah terhanyut emosi dan perasaan iba, sedih, sehingga dikhawatirkan jiwa mereka tidak kuat melihat kuburan yang terhampar dan perasaan duka cita yang mendalam bisa timbul kembali dan menimbulkan histeria yang berlebihan. Sementara ratapan atau tangisan dan jeritan yang berlebihan justru akan menyengsarakan arwah almarhum yang berada di alam kubur.
Sementara para ulama yang memperbolehkan kaum wanita untuk berziarah didasarkan atas pengertian kepada hadist Nabi yang menganjurkan untuk berziarah, bahwa ziarah itu bersifat umum, boleh dilakukan oleh kaum laki-laki maupun perempuan, sementara memang banyak hadist-hadist lainnya yang menguatkan pendapat bahwa kaum wanita boleh berziarah ke pekuburan. Beberapa di antara hadist tersebut menyatakan:
"Dari Aisyah, dia berkata:
Apakah yang harus aku ucapkan jika aku ziarah, ya Rasulullah? Nabi berkata: Katakanlah: Keselamatan untuk kamu hai ahli kubur orang-orang yang Mukmin." (Riwayat Muslim).
Nabi memberikan jawaban yang demikian adalah satu pertanda bahwa kaum wanita dibolehkan ziarah kubur. Kalau tidak, tentu Nabi akan melarang Siti Aisyah.
Diriwayatkan lagi dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa pada suatu hari dia bertemu dengan Siti Aisyah, tatkala Ummul Mukminin itu kembali dari pekuburan. Mulaikah menanyakan:
"Dari manakah Anda datang?"
"Dari kubur saudara saya, Abdur Rahman."
"Apakah Rasulullah tidak melarang wanita ziarah ke kuburan?" tanya Mulaikah.
Akhirnya, dijawab oleh Aisyah:
"Memang betul. Rasulullah (mula-mula) melarang ziarah ke kubur, tapi kemudian disuruhnya melakukan ziarah itu." (Riwayat Hakim dan Baihaqi).
Berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa pendapat yang memperbolehkan kaum wanita melakukan ziarah kubur, tidak berbeda seperti laki-laki adalah lebih kuat dan dapat dijadikan pegangan dalam beramal. Sebagai penutup, kita kutip satu hadist yang mengatakan:
"Aku tinggalkan kepada kamu dua pengajar. Yang pertama yang bisu; yang kedua yang berbicara. Adapun yang bisu ialah Al-Maut, dan yang berbicara ialah Al-Quran.
3.
Hukum adzan dua kali
pada saat sholat jum’at
Adzan jum’at dua kali memang ada
dasarnya, yakni sebuah atsar Utsman bin Affan -radhiallohu anhu-. Berikut ini
kami bawakan secara lengkap atsar tersebut, sebagaimana yang telah dibawakan
oleh Syaikh al-Albani -rahimahullah- pada kitab al-Ajwibah an-Nafi’ah ‘an
As`ilah Lajnah Masjid al-Jami’ah, hlm. 8-9.
am
az-Zuhri -rahimahullah- berkata: as-Sa`ib bin Yazid mengabarkan kepadaku:
أَنَّ الأَذَانَ [ الَّذِيْ ذَكَرَهُ
اللَّهُ فِي الْقُرْآنِ ] كَانَ أَوَّلُهُ حِيْنَ يَجْلِسُ الإِمَامُ عَلَى
الْمِنْبَرِ [ وَإِذَا قَامَتِ الصَّلاَةُ ] يَوْمَ الْجُمُعَةِ [ عَلَى بَابِ
الْمَسْجِدِ ] فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِيْ
بَكْرٍ وَعُمَرَ، فَلَمَّا كَانَ خِلاَفَةُ عُثْمَانَ وَكَثُرَ النَّاسُ [
وَتَبَاعَدَتِ الْمَنَازِلُ ] أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَة بِالأَذَانِ
الثَّالِثِ ( وَ فِيْ
رِوَايَةٍ: الأَوَّلِ، وَ فِي أُخْرَى: بِأَذَانٍ ثَانٍ ) [ عَلَى دَارٍ [ لَهُ ] فِي السُّوْقِ
يُقَالُ لَهَا الزَّوْرَاءُ ] فَأُذِّنَ عَلَى الزَّوْرَاءِ [ قَبْلَ خُرُوْجِهِ لِيُعْلِمَ
النَّاسَ أَنَّ الْجُمُعَةَ قَدْ حَضَرَتْ ]، فَثَبَتَ الأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ، [ فَلَمْ يَعِبِ
النَّاسُ ذَلِكَ عَلَيْهِ، وَقَدْ عَابُوْا عَلَيْهِ حِيْنَ أَتَمَّ الصَّلاَةَ
بِمِنَى
Bahwasanya
adzan yang telah Allah sebutkan di dalam al-Qur`an pada mulanya dikumandangan
ketika imam duduk di atas mimbar dan ketika sholat akan ditegakkan pada hari
jum'at di depan pintu masjid pada masa Nabi -shollallahu alaihi wa sallam-, Abu
Bakar dan Umar. Kemudian ketika tiba khilafah Utsman dan orang-orang semakin
bertambah banyak serta rumah-rumah saling berjauhan, Utsman memerintahkan pada
hari jum'at untuk dikumandangkan adzan yang ketiga (pada sebuah riwayat
disebutkan: pertama. Dan di riwayat lainnya disebutkan: adzan kedua) di atas
sebuah rumah miliknya di sebuah pasar yang bernama az-Zaura`. Lalu adzan
dikumandangkan di az-Zaura` sebelum beliau keluar untuk memberitahukan kepada
orang-orang bahwa waktu jum'at telah tiba. Maka demikianlah seterusnya hal
tersebut berlangsung, dan orang-orang tidak mencela beliau atas hal itu, akan
tetapi mereka pernah mencela beliau lantaran menyempurkana shalat (tidak
mengqasharnya) ketika berada di Mina. [HR. al-Bukhari, jilid 2, hlm. 314, 316,
317, Abu Dawud, jilid 1, hlm. 171, an-Nasa`i, jilid 1, hlm. 297, at-Tirmidzi,
jilid 2, hlm. 392 dan Ibnu Majah, jilid 1, hlm. 228. Juga diriwayatkan oleh
asy-Syafi'i, Ibnul Jarud, al-Baihaqi, Ahmad, Ishaq, Ibnu Khuzaimah,
ath-Thabrani, Ibnul Munzdir, dll.]
Dengan
demikian jelaslah bahwa adzan dua kali yang rutin dikerjakan masyarakat umum
sekarang ini berdasarkan dalil yang shahih.
Dalam
membahas tentang hukum adzan dua kali ada dua poin penting diantaranya :
Pertama,
dua Alasan Utsman radhiallohu
anhu Adzan Dua Kali.
Dapat
kita ketahui bersama dari hadits di atas bahwa Utsman -radhiallohu anhu-
menambahkan adzan yang pertama karena dua alasan yang sangat masuk akal:
1).
Semakin banyaknya manusia, dan
2).
Rumah-rumah mereka yang saling berjauhan.
Barang
siapa memalingkan pandangan dari dua alasan ini dan berpegang teguh dengan
adzan Ustman -radhiallohu anhu- secara mutlak, maka dia tidak mengikuti
petunjuk beliau -radhoallohu anhu-, bahkan ia menyalahi beliau, sebab dia tidak
mau mengambil pelajaran dari dua alasan tersebut, yang mana jika keduanya tidak
ada niscaya Ustman -radhiallohu anhu- tidak akan menambah Sunnah Rasulullah
-shollallahu alaihi wa sallam- dan dua khalifah sebelumnya Abu Bakar dan Umar
radhiallohu anhuma.
Dan
dua sebab tersebut hampir tidak tidak terwujudkan pada masa sekarang. Apalagi
hampir seluruh masjid yang ada sudah menggunakan speaker untuk mengumandangkan
adzan, sehingga semuanya dapat mendengarkan adzan jum’at baik yang dekat maupun
yang jauh.
Kedua, Pendapat Adzan Sekali atau Dua Kali?
Pendapat
yang tepat dan benar dalam masalah ini adalah, bahwa adzan jum’at sekarang ini
cukup dikumandangkan sekali saja. Berikut alasannya:
1.
Tidak adanya sebab yang mendorong untuk mengumandangkan adzan dua kali sebagaimana
yang dilakukan Utsman bin Affan -radhiallohu anhu- lantaran adanya dua asalan
yang masuk akal di atas.
2.
Mengikuti sunnah Rasulullah -shollallahu alaihi wa sallam-, Abu Bakar dan Umar
-radhiallohu anhuma-. Dan tentu saja sunnah beliau jauh lebih kita cintai dari
pada sunnah yang lainnya.
Imam
as-Syafi’i -rahimahullah- berkata di kitab al-Umm, jilid 1, hlm. 172-173: “Dan
saya menyukai adzan pada hari jum’at dikumandangkan ketika imam masuk masjid
dan duduk di atas mimbar. Apabila imam telah melakukan hal itu, maka muadzdzin
memuali adzan. Bila telah usai, maka imam berdiri dan menyampaikan khutbahnya,
dan tidak boleh ditambah-tambahi (adzan lain) lagi.”
Lalu beliau menyebutkan hadits as-Sa`ib di atas dan
berkata: “Dahulu Atho` mengingkari bahwa Utsman yang memulainya dan berkata:
‘Yang membuatnya adalah Mu’awiyah.’ Siapapun yang memulainya, (kata Imam
asy-Syafi’i) maka perkara yang telah ada pada masa Rasulullah -shollallahu
alaihi wa sallam- tentu lebih aku cintai.” [Disimpulkan dari kitab al-Ajwibah
an-Nafi'ah 'an As`ilah Lajnah Masjid al-Jami'ah, karya Syaikh al-Albani,
cetakan al-Maktab al-Islami]
[1]
Darusshalaf.or.id
[2]
Dikeluarkan oleh ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf
3/110 no. 4964, Ahmad 3/162, Ath-Thahawy dalam Syarh Ma’ani Al Atsar
1/244, Ibnu Syahin dalam Nasikhul Hadits Wa Mansukhih no. 220,
Al-Hakim dalam Al-Arba’in sebagaimana dalam Nashbur Rayah
2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam Ash-Shugra ` 1/273, Al-Baghawy
dalam Syarhus Sunnah 3/123-124 no. 639, Ad-Daraquthny dalam Sunan
-nya 2/39, Al-Maqdasy dalam Al-Mukhtarah 6/129-130 no. 2127,
Ibnul Jauzy dalam At-Tahqiq no. 689-690 dan Al-‘Ilal
Al-Mutanahiyah no. 753, dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Mudhih
Auwan Al-Jama’ Wa At-Tafriq 2/255 dan Al-Qunut
sebagaimana dalam At-Tahqiq 1/463.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar